Sindikat post, Jakarta – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menyesali hakim Pengadilan Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda Agama (mempelai pria beragama Kristen, dan mempelai wanita beragama Islam), dan mengingatkan kembali agar Hakim yang berada di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan MA sendiri untuk mentaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak mengesahkan pernikahan beda Agama, serta fatwa MUI yang menolak perkawinan beda Agama (seperti perempuan Muslimah dinikahi oleh pria yang tidak beragama Islam).
Hakim pengadilan negeri seharusnya mengundang dan mendengarkan pendapat MUI sebagai otoritas keagamaan di Indonesia, apabila ada permohonan pengesahan pernikahan apabila salah satu mempelainya beragama Islam. Dalam konteks Indonesia sebagai negata Hukum, para Hakim harusnya juga mentaati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Apalagi MK sudah berulang kali menolak permohonan uji materi UU Perkawinan untuk membolehkan perkawinan beda agama.
“Para hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat yang juga mengabulkan permohonan perkawinan beda Agama itu telah mengabaikan prinsip Indonesia sebagai negara hukum, yang mengenal ada nya hierarki perundangan yang harusnya ditaati. Dengan MK untuk yang kesekian kalinya menolak pengesahan perkawinan beda agama, itu seharusnya menjadi rujukan utama oleh hakim PN, karena menurut UUD NRI 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat, termasuk mengikat para hakim di lingkungan MA,” jelasnya melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (25/6).
Sebagai informasi, HNW sapaan akrabnya sudah berulang kali menyampaikan hal tersebut melihat fenomena para hakim PN yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Sebelum kasus di PN Jakpus ini, hakim PN Surabaya, PN Yogyakarta, PN Tangerang dan PN Jakarta Selatan juga melakukan hal serupa, padahal itu tak sesuai dengan Konstitusi, Keputusan MK, UU Perkawinan dan Fatwa MUI.
HNW menilai pandangan MUI dan Muhammadiyah di dalam berbagai kesempatan – termasuk dalam persidangan judicial review berkaitan perkawinan beda agama di Mahkamah Konstitusi – telah berulangkali mengungkapkan tidak dibolehkannya perkawinan beda agama berdasarkan aturan agama Islam dan UU Perkawinan. Itu harusnya disimak dan dirujuk oleh para Hakim. “Ini seharusnya yang menjadi pegangan utama para hakim apabila menghadapi permohonan “pengesahan” perkawinan beda agama dimana salah satu pasangannya beragama Islam,” ujarnya.
“Dan mestinya MA mendisiplinkan para Hakimnya untuk melaksanakan ketentuan Konstitusi, mentaati keputusan MK, merujuk kepada UU Perkawinan, dengan juga merujuk kepada fatwa MUI. MA perlu menertibkan para hakim di bawah lingkungan kewenangan MA, agar terjadi tertib hukum di negara hukum Indonesia, agar tidak terulang kembali masalah pengabulan permintaan pernikahan beda Agama yang meresahkan masyarakat serta mengganggu harmoni sosial di internal umat beragama. Agar tidak terjadi lagi laku hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum tertinggi (UUD) dan lembaga hukum dengan otoritas tertinggi (MK), dan ketentuan Agama yang diakui di negara hukum Indonesia,” tuturnya.